بسم الله الرحمن الرحيم

Syarah Kitab Arba’in Fi Huquuq Rabb al-‘Alaamiin

Disampaikan oleh Syaikh Abdul Aziz Muhammad Habib al-Kamaly hafizhahullah

 

Dikatakan al-Khaliq (Yang Maha Pencipta) atau al-Qadir (Yang Maha Berkuasa) atas pembuatan ciptaan yang baru atau yang tidak butuh kepada yang selain-Nya, semuanya selain Allah sangat butuh kepada-Nya. (Para Ahli Filsafat). Ini adalah penafsiran yang bathil. Kalau seandainya itu benar maka apa yang bisa mencegah kaum musyrikin quraisy dari menerima kalimat La ilaha Illa Allah? Mereka mengakui dengan perkara yang tiga tersebut namun mereka membantah dan mengatakan (firman Allah),

أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

 “’Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu sebagai sesembahan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad : 5)

Maka alangkah malangnya bagi orang yang orang kafir Quraisy lebih tahu darinya tentang makna La Ilaaha Illa Allah. Dan kefahaman yang salah terhadap kata tersebut bisa menghantarkan kepada kesalahan yang besar. Menjadi sebab-sebab viralnya kesyirikan di dalam umat ini dan telah berlalu penyebutan makna yang Shohih tentang al-Ilaah dan dalil-dalilnya..

I’rob لا إله إلا الله :

لا – la nafiyah lil Jinsi (LA yang berfungsi untuk meniadakan jenis – karena meniadakan khabarnya dari seluruh yang termasuk kedalam jenis ismnya, sehingga Lā nafiyyah liljinsi merupakan bentuk peniadaan yang paling luas cakupannya)

(إله) – Ilaha –
Ilāha adalah Isim (kata benda) lā nafiyyah liljinsi (la yang berfungsi meniadakan jenis) (mabniyyun ‘alal fatḥi) dalam kedudukan nashob (berharokat fathah).

خَبَرُهَا – khobarnya
Marfu’ (yang dirofa’kan) yang persepsi yang seharusnya adalah haqqun (yang benar).

إلا – Illa adalah berfungsi sebagai alat pengecualian.

الله – Allah
Menunjukkan kepada lafazh Ilah (sesembahan), dan ini adalah penggantian sebagian dari seluruhnya, (1) maka kalimat sempurna bersama khobarnya sesuai persepsi yang seharusnya adalah:
Tidak ada illah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah. Telah bersepakat para ulama madzhab yang empat terhadap makna La Ilaha Illa Allah adalah Tidak ada yang diibadahi dengan benar kecuali Allah.

(catatan (1)):

Isim al-Karim Lafazhul Jalalah badal (pengganti) dari Khobar (لاَ ) – La – al-Makhduf (yang dihilangkan) dan bukan khobarnya karena La nafiyah lil jinsi tidak berlaku kecuali kepada isim bentuk nakirah (undefinitif).

Allah Ta’ala berfirman:

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ

“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq, dan apa saja yang mereka seru selain Allah adalah bathil.” (QS. Luqman: 30)

Kata Tauhid itu mempunyai rukun dan syarat. Rukunnya ada dua yaitu an-Nafi (peniadaan) dan al-Itsbat (penetapan). Maka (لاَ إلهَ ) peniadaan untuk Ilahiyah sesembahan selain Allah Azza wa Jalla. ( إلا الله ) penetapannya (sesembahan) hanya bagi Allah saja, dan tidak berlaku tauhid kecuali dengan berkumpulnya dua perkara tersebut. Maka jika hanya peniadaan (nafi) saja maka itu adalah ta’thil (penghapusan) dan penetapan (itsbat) saja tidak akan mencegah adanya musyarakah (Persekutuan).

Allah Ta’ala berfirman:

وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهِيْمُ لِاَبِيْهِ وَقَوْمِهٖٓ اِنَّنِيْ بَرَاۤءٌ مِّمَّا تَعْبُدُوْنَۙ اِلَّا الَّذِيْ فَطَرَنِيْ فَاِنَّهٗ سَيَهْدِيْنِ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Rabb Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. (QS. Az-Zukhruf: 26-27)

Dari Abi Malik Sa’d bin Thoriq bin Ushaim al-Asyja’I dari bapaknya dari Nabi ﷺ bahwa Beliau bersabda: “Barangsiapa yang mengatakan, “La Ilaha Illa Allah” Allah, dan mengkufuri sesuatu yang disembah selain Allah, maka telah haram harta dan darahnya, dan pahalanya di sisi Allah.” (HR. Muslim no. 23).

Tidak ada kemanfaatan dengan kalimat Tauhid kecuali dengan syarat-syaratnya, dan syarat-syaratnya Kembali kepada dua perkara, yaitu al-Ilmu (ilmu) dan al-Iltizam (komitmen). (Disampaikan oleh al-Mu’alimy al-Yamaniy rahimahullah).
Maka ilmu itu merupakan syarat keabsahan (tauhid)nya, namun seseorang harus yakin akan hal itu.

Dari Utsman radhiallahu’anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang meninggal dan dia mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah (maka) dia masuk surga.” (HR. Muslim no. 26)

عن أبي هريرة أن النبي ﷺ قال له: (مَن لَقِيتَ مِن وَرَاءِ هَذَا الحَائِطَ يَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلّا اللَّهُ مُسْتَيْقِنًا بها قَلْبُهُ، فَبَشِّرْهُ بالجَنَّةِ،) رواه مسلم

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Sesungguhnya Nabi ﷺ bersabda kepadanya, “Siapapun yang kau temui di balik kebun ini ia bersaksi bahwa tidak Rabb (yang berhak disembah) selain Allah dan ia menancapkan keyakinan ini dalam hatinya, maka berilah kabar gembira kepadanya dengan surga.’” (HR. Muslim no. 26).

Dan berkomitmen dengannya adalah syarat dan mengatakannya dengan lisannya dan mengikhlaskan kalimat tauhid dengan hatinya, dan membenarkannya tanpa kedustaan dan mati diatas kalimat tauhid.

Dari ‘Itban bahwa Nabi ﷺ, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAH dengan mengharap wajah Allah?” (HR. Al-Bukhari no. 425 dan Muslim no. 33)

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Beliau pernah bertanya kepada Nabi ﷺ “Siapakah yang paling Bahagia dengan syafa’atku?” maka Beliau ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang berkata La ilaaha Illa Allah ikhlas dari hatinya. (HR. Al-Bukhari no. 99)

Kata Anas bin Malik bahwa Nabi ﷺ menunggang kendaraan sementara Mu’adz membonceng di belakangnya. Beliau lalu bersabda, “Wahai Mu’adz bin Jabal!” Mu’adz menjawab, “Wahai Rasulullah, aku penuhi panggilanmu.” Beliau memanggil kembali, “Wahai Mu’adz!” Mu’adz menjawab, “Wahai Rasulullah, aku penuhi panggilanmu.” Hal itu hingga terulang tiga kali, beliau lantas bersabda, “Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah, tulus dari dalam hatinya, kecuali Allah akan mengharamkan baginya neraka.” Mu’adz lalu bertanya, “Apakah boleh aku memberitahukan hal itu kepada orang, sehingga mereka bergembira dengannya?” Beliau menjawab, “Nanti mereka jadi malas (untuk beramal).” Mu’adz lalu menyampaikan hadits itu ketika dirinya akan meninggal karena takut dari dosa.” (HR. Al-Bukhari no. 128).

Barang siapa yang tidak mengucapkan kedua syahadat tersebut meskipun ia mampu, maka ia tidaklah beriman, meskipun ia yakin bahwa syahadat tersebut shahih berdasarkan ijma’ (Ibnu al-Shalah, an-Nawawi, dan selain keduanya). (Lihat Shiyanah Shohih Muslim hal 173, Syarah Muslim 1/237)

Dan hadits Ubadah bin as-Shomit, (dan dalam hadits disebut), “Kemudian engkau bertemu dengan-Ku tidak menyekutukan dengan-Ku suatu apapun) dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari no. 246, maka tidak bermanfaat persaksian itu jika dia mati kecuali diatas keyakinan tersebut dan tidak bisa dibatalkan secara ijma’ (Ibnu Abdil Bar dan Ibnul Mulaqin).

 

Macam-Macam Tauhid

At-Tauhid – berkaitan dengan apa yang berhubungan dengan Allah – memiliki tiga kategori :

  • Tauhid ar-Rububiyah; yaitu Mengesakan Allah dalam seluruh perbuatan-Nya (terhadap hamba-Nya), seperti penciptaan, penguasaan, dan pengaturan.
  • Tauhid al-Uluhiyah: yaitu mengesakan Allah dalam ibadah, seperti (berdoa) hanya kepada Allah, dan juga sembelihan dan nadzar.
  • Tauhid al-Asma’ wa Shifaat: yaitu mengesakan Allah dengan apa yang khusus dari seluruh nama dan sifat Allah.

 

Tauhid – berdasarkan atas apa yang diminta dari hamba, ada dua jenis :

  • Tauhid al-Ma’rifah wal Itsbat (Tauhid Ma’rifah dan Penetapan), dan itu adalah tauhid al-Ilmiy al-Khobariy yang meliputi tauhid Ar-Rububiyah dan al-Asma’ was Shifaat.
  •  Tauhid at-Tholab wal Qoshdu. Yaitu at-Tauhid al-‘Amaliy, dan itu meliputi Tauhid al-Uluhiyahn dan yang dimaksudkan adalah mentauhidkan Allah dalam at-Tholab at-Ta’abudiy – permintaan khusus dalam peribadahan dan a-Qoshdu at-Ta’abudiy – tujuan khusus dalam peribadahan.

Dan dalil atas pembagian tersebut adalah berdasarkan penyelidikan, pembagian dan istiqro’ mengekstrapolasi berbagai teks, sebagaimana para ulama membagi ilmu menjadi fikih, hadits dan tafsir, maka begitu pula mereka membagi tauhid menjadi 3 macam tersebut, dan ketika menelaah kepada berbagai macam nash maka kita dapati bahwa Allah itu mengajak bicara kepada orang-orang kafir dengan rububiyah-Nya dan mengharuskan mereka untuk berada diatas tauhid al-Uluhiyah, atau bahwa Allah menetapkan bagi mereka iman dalam suatu perkara dan mereka mengingkari dalam perkara lainnya. Maka hal tersebut adalah iman yang terbatas, dan kedua hal tersebut menunjukkan kepada pembagian tersebut.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?, (QS. Az-Zukhruf: 87)

Dan Allah berfirman:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31)
Dan ini adalah dalil tentang Tauhid ar-Rububiyah.

Allah Ta’ala berfirman: “Maka ketahuilah bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah) (QS. Muhammad: 19) dan Allah Ta’ala berfirman: ( Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu) (QS. An-Nahl: 36)
Dan Allah Ta’ala berfirman: Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. Al-Anbiyaa: 25)
Dan ini adalah (dalil) dalam Tauhid al-Uluhiyah.

Dan Allah Ta’ala berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)
Dan ini adalah Tauhid al-Asma’ was Shifaat.

Allah Ta’ala berfirman:

رَّبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَٱعْبُدْهُ وَٱصْطَبِرْ لِعِبَٰدَتِهِۦ ۚ هَلْ تَعْلَمُ لَهُۥ سَمِيًّا

“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam: 65)
Dan ini berkaitan dengan dalil dari Ketiga macam tauhid tersebut.

 

#DaurahMaSyaikh_Surabaya
#DaurahYayasanMinhajusSunnah2024_1445H
#BagianKedua
Diterjemahkan seadanya dan sebisanya oleh Ustadz Zaki Rakhmawan Abu Usaid hafidzhahullahu ta’ala

By Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *