بسم الله الرحمن الرحيم
اَلّٰلهُمَّ صَلِّ عَلَی مُحَمَّدٍ وَ عَلَی آلِ مُحَمَّدٍ
Salah seorang ulama generasi tabiin Wahb bin Munabbih pernah ditanya, “Bukankah kunci surga itu “Laa Ilaaha Illallaah”?
Beliau rahimahullah menjawab,
بَلَى وَلٰكِنْ لَيْسَ مِنْ مِفْتَاحٍ إِلَّا لَهُ أَسْنَانٌ فَإِنْ أَتَيْتَ بِمِفْتَاحٍ لَهُ أَسْنَانٌ فُتِحَ لَكَ وَإِلَّا لَمْ يُفْتَحْ
“Betul, akan tetapi tidaklah disebut kunci kecuali bergerigi, apabila engkau datang membawa kunci yang bergerigi maka pintu itu akan terbuka, jika tidak, maka pintu itu tidak akan pernah terbuka.” 📚 Hilyatul Awliya’ (4/66)
Geriginya adalah syarat-syaratnya, sebagaimana shalat memiliki syarat yang menentukan keabsahannya, maka kalimat tauhid juga memiliki syarat yang ketiadaannya menjadi tidak berguna. Para ulama menyebutkan ada tujuh syarat kalimat tauhid laa ilaaha illallaah yaitu,
1. Ilmu yang meniadakan jahl (kebodohan).
2. Yaqin (keyakinan) meniadakan syakk (keraguan).
3. Ikhlas (kemurnian niat) meniadakan syirik (penyekutuan).
4. Qabul (menerima) meniadakan radd (menolak).
5. Shidq (jujur) meniadakan kadzib (dusta).
6. Inqiyad (tunduk) meniadakan tark (meninggalkan).
7. Mahabbah (cinta) meniadakan baghdha’ (benci).
Syarat-syarat ini semestinya dipahami dengan baik agar kalimat tauhid bukan sekedar atribut dan pemanis bibir belaka.
- Tim Medsos MSU (PKPPS Tingkat Ula Al Ukhuwah Sukoharjo)