بسم الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Arba’in Fi Huquuq Rabb al-‘Alaamiin
Disampaikan oleh Syaikh Abdul Aziz Muhammad Habib al-Kamaly hafizhahullah
Kemusyrikan generasi selanjutnya lebih parah dibandingkan kemusyrikan generasi awal, hal itu dilihat dari aspek sebagai berikut:
1. Orang-orang musyrik generasi awal dahulu mengasosiasikan kesyirikan dengan kemudahan bukan kesulitan. Allah Ta’ala berfirman: “Dan jika mereka menaiki kapal, mereka berseru kepada Allah dengan ikhlas dalam agamanya kepada-Nya. Namun apabila Dia menyerahkan mereka kepada kebenaran, sesungguhnya mereka mempersekutukan.” (QS. Al-Ankabut: 65). Adapun orang-orang musyrik generasi belakangan, mereka mengasosiasikan kemudahan dan kesulitan, bahkan mereka memperbanyak kemusyrikan dengan kesulitan.
2. Orang-orang musyrik generasi belakangan mereka senantiasa melakukan kesyirikan, bahkan kesyirikan dengan menjadikan orang-orang yang buruk dan rusak seperti al-Badawi, maka diapun (yang melakukan kesyirikan) tidak mengetahui biografi al-Badawi kecuali dia ini adalah orang yang pernah masuk ke masjid pada hari jum’at dan kencing di dalamnya kemudian keluar dari masjid dan tidak melakukan sholat.
3. Sesungguhnya orang -orang musyrik generasi belakangan tidak mengetahui makna La Ilaaha Illa Allah berbeda dengan orang-orang musyrik generasi awal, oleh karena itu orang musyrik generasi awal itu mengetahui makna kalimat tersebut dan enggan untuk mengatakannya berbeda dengan orang musyrik generasi belakangan yang mudah mengucapkannya karena kejahilannya terhadap makna La ilaaha Illa Allah.
4. Orang-orang musyrik generasi belakangan adalah orang yang melakukan kesyirikan dalam hal tauhid Rububiyah seperti para pembesar sufi dan syiah rafidhoh, berbeda dengan orang musyrik generasi awal, mereka meyakininya dengan tauhid rububiyah secara garis umumnya kecuali masalah kebangkitan dan pengumpulan.
5. Orang-orang musyrik generasi awal mengakui dengan semua nama-nama Allah kecuali nama ar-Rahman, dan mereka mengakui semua sifat Allah, berbeda dengan kaum musyrikin generasi belakangan mereka ada yang mengingkari semua nama-nama Allah dan dari mereka ada yang mengingkari semua nama-nama Allah dan ada dari mereka yang mengingkari sifat-sifat Allah seluruhnya atau sebagiannya.
Hal ini tidak berarti bahwa golongan musyrik awal lebih baik dari golongan musyrik yang belakangan secara mutlak, namun yang dibicarakan adalah kesyirikan yang dilakukan oleh setiap golongan, dan orang-orang yang melakukan kesyirikan pada generasi belakangan tidak boleh dianggap kafir jika mereka bodoh, karena mereka menisbatkan diri kepada Islam (mengaku Islam). dan mematuhinya, tidak seperti yang kaum musyrikin pada generasi awal.
Pembagian Syirik
Syirik ada dua macam:
Syirik besar, telah berlalu definisinya.
Syirik kecil, yaitu: Setiap apa saja yang dimutlakkan menurut syari’at sebagai kesyirikan dan tidak menjadikan tandingan bagi Allah secara sempurna, dan berlaku pula pada apa yang semakna seperti mengambil sebab yang tidak jelas contohnya Tamimah (akan ada penjelasannya).
Dari Syadad bin Aus radhiallahu’anhu: “Kami m enganggap riya pada zaman Rasulullah ﷺ adalah syirik kecil” (HR. Al-Bazaar, lihat Shohih at-Targhib no. 32).
Perbedaan antara Syirik Besar dan Kecil :
1. Sesungguhnya syirik dan kufur besar tidak akan bersatu bersama iman yang bisa menyelamatkan dari api neraka, berbeda dengan syirik kecil. Allah Ta’ala berfirman: “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu.” (QS. Az-Zumar: 65). Sedangkan syirik kecil maka akan batal amalan-amalan yang dibandingkan (yang mengandung syirik) tanpa membatalkan amalan selainnya.
2. Syirik dan kufur akbar (besar) membawa kekekalan dalam neraka, berbeda dengan syirik kecil, Allah Ta’ala berfirman: Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. (QS. Al-Maidah: 72).
3. Pelaku syirik dan kufur besar maka dia dikenakan hukum kafir di dunia, berbeda dengan syirik kecil.
Patokan untuk membedakan keduanya :
1. Syirik besar patokannya adalah berlaku untuk setiap ibadah yang diselewengkan kepada selain Allah baik berupa berhala, atau patung atau malaikat atau jin atau wali-wali maka itu adalah syirik besar.
2. Sedangkan syirik kecil bisa dikenali dengan apa ada pada poin berikut ini:
- a. Bahwa hal ini terdapat secara tegas dalam berbagai nash, seperti dalam perkataan Shaddad bin Aus radhiallahu’anhu yang telah disebutkan sebelumnya.
- b. Para sahabat memahaminya sebagaimana tercantum dalam riwayat Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu, Beliau berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: (Thiyarah (anggapan sial tanpa sebab yang syar’i) itu adalah syirik), dan tidak ada seorang pun di antara kami yang melakukan apa pun selain itu, kecuali Allah menghilangkannya dengan tawakal. Sabdanya: (Dan tidak ada seorang pun di antara kita yang kecuali…tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakal) berasal dari perkataan Ibnu Mas’ud, dan itu adalah bukti bahwa itu adalah syirik kecil, maka tawakal itu bisa menghilangkan syirik kecil.
- c. Kesepakatan ulama bahwa itu adalah perbuatan syirik kecil atau kufur kecil.
- d. Syirik kecil itu datang dengan membawa redaksional nakirah (redaksional umum) bukan yang definitive (dengan AL) ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah syirik yang mengeluarkan seseorang muslim dari agamanya. Ibnu Mas’ud berkata: “Sesungguhnya Ruqyah, Tamimah, Tiwalah (jimat) adalah syirik). Dan yang diinginkan disini adalah syirik kecil, namun ini adalah pembatasan yang sangat umum, karena terkadang ada nash-nash yang ada alif lamnya dan tidak diinginkan padanya kekufuran yang besar seperti perkataan shahabat Ibnu Abbas radhillah kepada Rasulullah ﷺ, “Wahai Rasulullah ﷺ, tidaklah aku mencela Tsabit bin Qais atas agama atau pun akhlaknya, akan tetapi aku khawatir kekufuran dalam Islam.” Dan yang diinginkan dengannya adalah kufrun ‘ashir (kufur terhadap pasangan).
HADITS PERTAMA :
عَنْ مُعَادٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ ﷺ عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ، فَقَالَ : يَا مُعَاذُ هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ؟ قُلْتُ : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ : فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ بِهِ النَّاسَ ؟ قَالَ : لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا . متفق عليه
Dari Mu’adz ia berkata, “Aku pernah dibonceng Nabi di atas seekor keledai yang bernama ‘Ufair. Lalu beliau bertanya: ‘Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas para hamba-Nya dan apa hak para hamba atas Allah?” Aku jawab: ‘Allah dan rasul-Nya yang lebih tahu.’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya hak Allah atas para hamba-Nya adalah hendaknya mereka beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan- Nya dengan sesuatu apapun. Dan hak para hamba atas Allah adalah Allah tidak akan mengadzab seorang hamba pun yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Lalu aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah boleh aku menyampaikan kabar gembira ini kepada manusia?” Beliau menjawab: Jangan kamu beritahukan mereka sebab nanti mereka akan berpasrah saja (tidak mau beramal)…” Muttafaqun alaihi (HR. Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 40)
Hadits ini tentang wajibnya tauhid, dan penjelasan kedudukannya dalam agama, Tauhid merupakan kewajiban yang paling wajib, terbesar, dan pertama, dan hal ini tampak dalam banyak hal, antara lain:
1. Tujuan dari penciptaan Jin dan Manusia.
Allah Ta’ala berfirman: {Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku} (QS. Adz-Dzariyat: 56), maka tujuan diciptakannya dua makhluk jin dan manusia itu adalah ibadah, dan ibadah dalam arti syar’inya secara mutlak adalah tauhid, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
2. Tujuan Pengutusan para Rasul, dan Tauhid adalah tujuan dakwah mereka semua.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” (QS. An-Nahl: 36).
Dan Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku…” (QS. Al-Anbiyaa: 25)
وعن أبي هريرة عن النبي ﷺ قال: (أَنَا أَوْلَى النَّاسِ بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ. قَالُوا: كَيْفَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ مِنْ عَلَّاتٍ، وَأُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ، فَلَيْسَ بَيْنَنَا نَبِيٌّ) أخرجاه واللفظ لمسلم
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, dari Rasulullah ﷺ, bersabda, “Aku lebih berhak atas diri Isa putra Maryam dari semua manusia di dunia dan di akhirat, ” para sahabat bertanya, “Bagaimana hal itu wahai Rasulullah?” beliau bersabda, “Para Nabi adalah satu ayah (adam), ibu mereka berbeda-beda namun agama mereka satu, dan antara aku dengan Isa tidak ada Nabi.” (HR. Al-Bukhari no. 3443 dan Muslim no. 2365)
“Ketika Allah menciptakan Adam ‘alaihissalam, dan tidak mengutus setelah nya seorang rasul selama 10 abad, semuanya diatas syari’at kebenaran, maka tatkala mereka berselisih Allah mengutus para nabi dan para rasul, menurunkan kitab-Nya, maka mereka adalah umat yang satu.” (Dikeluarkan oleh Al-Hakim dalam al-Mustadrak no. 3654, ini sesuai dengan syarat al-Bukhari namun Beliau tidak mengeluarkan di dalam kitab shohihnya, lihat Silsilah Ahaadits as-Shohihah 7/854).
Umat yang satu itu adalah jama’ah yang berkumpul diatas agama yang satu, walaupun terdapat banyak dosa seperti membunuh, iri hati, dan lain-lain, namun ketika terjadi kesyirikan di kalangan umat Nuh, Allah mengutusnya untuk menyerukan tauhid.
3. Hal pertama yang diperintahkan Allah, Rasul-Nya, dan para Nabi (adalah tauhid), dan kebalikannya (syirik) adalah hal pertama yang dilarang oleh Allah, Rasul-Nya, dan Para Nabi, sehingga merupakan kewajiban yang pertama secara ijma’ (Ibnu Taimiyyah), dan (tauhid) adalah hal pertama yang diserukan.
Allah Ta’ala berfirman:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya“. (QS. Al-Isra’: 23) dan Ini termasuk di antara delapan belas persoalan hikmah yang diturunkan Allah, yang diawali dengan tauhid dan diakhiri dengan itu, Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَجْعَلْ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ
“Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah”. (QS. Al-Israa’: 39).
Allah Ta’ala berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. “ (QS. An-Nisaa: 36) Ini disebut Ayat Sepuluh Hak, dan diawali dengan tauhid. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ ۖ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, (QS. Al-An’aam: 151). Dan ini dinamakan ayat wasiat yang sepuluh. Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma menamakan dengan Al-Muhkamat, diawali dengan tauhid dan diakhiri dengan larangan syirik.
Nabi ﷺ tinggal di Mekah menyerukan tauhid selama tiga belas tahun, dan mengakhiri hidupnya dengan memperingatkan terhadap kesyirikan dan segala dampaknya ketika beliau memperingatkan agar tidak membangun di atas kuburan.
Para Nabi seluruhnya mereka berkata di dalam awal dakwahnya, Allah Ta’ala berfirman:
اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ
“Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Rabb bagimu selain-Nya” (QS. Al-A’raaf: 59).
Rasulullah ﷺ bersabda kepada Muadz radhiallahu’anhu ketika Beliau mengutusnya ke Yaman, “ Maka pertama kali yang engkau serukan kepada mereka adalah syahadat (persaksian) An laa Ilahaa iallah.) (HR. Al-Bukhari no. 1458 dan Muslim no 19) dalam Riwayat lainnya (Sampai mereka mentauhidkan Allah) (HR. Al-Bukhari no. 7372 dan Muslim no. 19)
Dikatakan bahwa wajib mempelajari terlebih dahulu atau niat untuk mempelajari (Mu’tazilah dan Asy’ariyah), dan ini adalah pernyataan yang batil karena bertentangan dengan nash dan ijma’, kecuali mungkin berlaku bagi mereka yang tidak dapat memperoleh keimanan. kecuali dengan (mempelajari terlebih dahulu), dan bukan pada seluruh manusia, dan hal ini sesuai dengan nash yang memerintahkan untuk mempelajari (Ibnu Taimiyah).
4. Tauhid adalah Hak Allah (yang wajib dipenuhi) atas seluruh hamba-Nya
عَنْ مُعَاذٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ فَقَالَ يَا مُعَاذُ هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ بِهِ النَّاسَ قَالَ لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا. أخرجاه
Dari Mu’adz radhiallahu’anhu berkata, “Aku pernah membonceng di belakang Nabi ﷺ di atas seekor keledai yang diberi nama ‘Ufair lalu beliau bertanya, “Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas para hamba-Nya dan apa hak para hamba atas Allah?” Aku jawab, “Allah dan rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya hak Allah atas para hamba-Nya adalah hendaknya beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dan hak para hamba-Nya atas Allah adalah seorang hamba tidak akan disiksa selama dia tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” Lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah boleh aku menyampaikan kabar gembira ini kepada manusia?” Beliau menjawab, “Jangan kamu beritahukan mereka sebab nanti mereka akan berpasrah saja”. (HR. Al-Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 30)
5. Tauhid adalah Syarat Diterimanya Amal
Allah Ta’ala berfirman:
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabbnya”. (QS. Al-Kahfi: 110).
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ جُدْعَانَ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَصِلُ الرَّحِمَ وَيُطْعِمُ الْمِسْكِينَ فَهَلْ ذَاكَ نَافِعُهُ قَالَ لَا يَنْفَعُهُ إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ) رواه مسلم
Dari Aisyah radhiallahu’anha beliau berkata, Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, Ibnu Jud’an pada masa jahiliyyah selalu bersilaturrahim dan memberi makan orang miskin. Apakah itu memberikan manfaat untuknya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, sebab dia belum mengucapkan, ‘Rabb-ku ampunilah kesalahanku pada hari pembalasan.'” (HR. Muslim no. 214)
6. Al-Qur’an seluruhnya adalah tauhid
Setiap ayat di dalamnya bisa berupa berita tentang Allah, dan ini adalah tauhid ilmiah, atau seruan untuk beribadah kepada-Nya, dan ini adalah tauhid yang sukarela dan menuntut, atau perintah dan larangan, dan inilah hak dan pelengkap tauhid, atau berita tentang Kemuliaan Allah bagi kaum tauhid atau azab-Nya bagi kaum musyrik, dan itu hukumnya bagi orang yang menyimpang tauhidnya.
#DaurahMaSyaikh_Surabaya
#DaurahYayasanMinhajusSunnah2024_1445H
#BagianKelima
Diterjemahkan seadanya dan sebisanya oleh Ustadz Zaki Rakhmawan Abu Usaid hafidzhahullahu ta’ala