بسم الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Arba’in Fi Huquuq Rabb al-‘Alaamiin
Disampaikan oleh Syaikh Abdul Aziz Muhammad Habib al-Kamaly hafizhahullah
Hubungan antara macam-macam tersebut adalah bahwa Tauhid Uluhiyah mencakup tauhid Rububiyah dan Asma’ was Sifat.
Tauhid Rububiyah dan Asma wa Shifat adalah mengharuskan adanya Tauhid Uluhiyah.
Tauhid Rububiyah disebutkan dalam al-Qur’an dalam dua perkara:
1. Untuk mengharuskan tauhid Uluhiyah, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ، الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشاً وَالسَّمَاء بِنَاء وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقاً لَّكُمْ فَلاَ تَجْعَلُواْ لِلّهِ أَندَاداً وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 21-22)
2. Untuk mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Allah Ta’ala berfirman:
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12) مَّا لَكُمْ لَا تَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَارًا (13)
“Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” (QS. Nuh: 10-13)
Uluhiyah dan Rububiyah adalah dua lafazh yang bisa bersatu dan bisa berpisah. jika bersatu maka mempunyai makna sendiri-sendiri, jika berpisah dalam penyebutan maka maknanya menyatu, seperti lafazh faqir dan miskin dan yang semisalnya. Tauhid jika dimutlakkan maka yang dimaksudkan dengannya adalah Tauhid Uluhiyah.
Seluruh makhluk Allah bersepakat dalam mengesakan Allah dengan Rububiyah dan kesempurnaan sifat-Nya. Allah telah menetapkannya bagi makhluk-Nya sebagaimana firman Allah :
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللّهِ إِلاَّ وَهُم مُّشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf: 106).
Maka ini menunjukkan bahwa jika dimutlakkan penyebutan tauhid tidak dimaksudkan dengannya selain penyebutan Uluhiyah karena tauhid selainnya adalah telah ada (dengan sendirinya konsekuensi dari Tauhid Uluhiyah adalah telah ditegakkan Tauhid Rububiyah dan Asma wa Sifat).
Para Rasul menyeru kepada tauhid dan tauhid yang dituju ini adalah tauhid Uluhiyah, Allah Ta’ala berfirman:
padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. (QS. At-Taubah: 31). Dan pemahaman orang yang diajak bicara dengan risalah dan ini adalah apa yang bisa dipahami dari redaksional ayat:
Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? (QS. Al-A’raaf: 70) dan Mereka berkata, “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja?” (QS. Shaad: 5).
Bantahan terhadap syubhat dalam pembagian Tauhid:
Syubhat pertama: Sebagian orang mengira bahwa pembagian tauhid menjadi tiga itu mengharuskan sesembahan yang berbilang, dan jumlahnya menjadi tiga.
Jawab: Sesungguhnya hal tersebut tidak mengharuskan demikian, karena pembagian itu adalah hak-haknya tauhid yang wajib dalam rangka menyatukan didalamnya bukan karena mempunyai dzat yang terpisah darinya, Dan ini adalah sumber syubhat para pengingkar Nama-nama dan Sifat-Sifat Allah seperti Jahmiyah dan selain mereka. Dimana mereka mengklaim bahwa ada keharusan untuk menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang telah ditetapkan oleh orang-orang terdahulu, bahkan Jahm bin Sofyan (tokohnya Jahmiyah) dinukil darinya bahwa dia mengatakan, “Kalau aku katakan bahwa bagi Allah ada 99 nama maka tentunya aku harus beribadah kepada 99 sesembahan.”
Hal ini khususnya diterima dari para penyembah berhala yang mengagung-agungkan Allah Ta’ala, Dimana mereka mengatakan: Muhammad berdoa kepada Ilah sesembahan yang satu, kemudian dia mengatakan: Ya Allah Ya Sami’ (Dzat Yang Maha Mendengar), Ya Bashir (Dzat Yang Maha Melihat) maka dia telah berdoa kepada sesembahan yang berbeda-beda, maka Allah menurunkan ayat:
Katakanlah:
قُلِ ادْعُوا اللهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيّاً مَّا تَدْعُوا فَلَهُ الأَسْمَآءُ الحُسْنَى
“Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik).” (QS. Al-Isra: 110).
Apa pun nama yang kalian berdoa dengannya, maka kalian telah menyeru dengan nama tersebut, maka Allah telah mengabarkan bahwa Allah adalah sesembahan yang satu meskipun Namanya-namanya yang indah diambil dari sifat-sifat-Nya banyak sekali.
Syubhat kedua: Sebagian dari mereka mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara rububiyah dan uluhiyah dan sesungguhnya pembedaan itu adalah batil.
Jawab: Hendaknya dikatakan kepada mereka apa yang kalian akan katakan kepada orang yang berkata bahwa Allah adalah Dzat Yang mencipta, memberi rezki, yang mengatur namun dia beriman dengan berhala dan beribadah kepadanya? Maka jika mereka mengatakan bahwa orang yang melakukan tersebut adalah seorang muslim maka dia telah menyelisihi ijma’ kaum muslimin bahkan telah kafir terhadap Allah, dan jika mereka mengatakan model orang tersebut adalah seorang musyrik maka dikatakan kepada mereka, “Apa yang kalian sebut tentang keyakinannya bahwa Allah itu adalah Dzat Yang Mencipta, Yang Memberikan rezki, Yang mengatur, maka jika mereka mengatakan, “Kami menamakannya tauhid” maka dikatakan kepada mereka, “ Dari mana datangnya kesyirikan padanya padahal dia telah membawa tauhid? Jika mereka mengatakan, “orang tersebut telah membawa sebagian dari tauhid dan menyelisihi sebagian lainnya, maka dikatakan kepada mereka, maka kalian telah menyelisihi dan memisahkan dan menghancurkan perkataan kalian.
Kemudian, Sesungguhnya tidak adanya pembedaan antara tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah maka itu adalah jahil terhadap bahasa dan syar’i. Maka dalam bahasa ada perbedaan antara Rabb dan al-Ilah secara struktur komponen penyusun katanya dan maknanya. Dari sisi struktur komponen penyusunnya maka al-Ilah itu mempunyai rumus fa’aala dengan makna maf’ul (objek) seperti basaath (bentangan) dengan makna mabsuuth (yang dibentangkan), maka al-Ilah dengan rumusan isim maf’ul (ma’luh yang diibadahi) sedangkan ar-Rabb maka asal katanya adalah Raabbun menurut rumusan isim fa’il dan beda antara isim fa’il dan isim maf’ul.
Dan sedangkan menurut sisi makna maka Uluhiyah yang dia adalah mashdar kata Ilah dan rububiyah itu bukanlah mashdar dari kata ar-Rabb, maka al-Ilahiyah dengan makna ibadah dan at-tadalul (perendahan diri) dengan kesepakatan ahli bahasa. Dan al-Ilah itu adalah al-Ma’bud (yang diibadahi) dengan ijma ahli ilmu (Ibnu Abdil Barr).
Maka fi’il kata kerja Alaha – Ya’lahu jika merendahkan diri dan beribadah, sedangkan Rububiyah maka sesungguhnya ar-Rabb itu itu adalah al-maalik Dzat Yang Maha Menguasai, as-Sayyid (Dzat Yang Memiliki), maka Dimana makna al-Ma’bud (yang diibadahi) dari makna al-maalik as-sayyid. Dzat Yang Maha Menguasai, as-Sayyid (Dzat Yang Memiliki).
Dan secara syar’I maka perkataan ini mengharuskan firman Allah Ta’ala: “Katakanlah aku berlindung dengan Rabb nya manusia.” Lafazh ini seperti firman Allah, “Ilaahin Naas – Sesembahannya manusia” dan bahwa pengulangan itu tidak ada faidah darinya. Ini adalah perkataan yang bathil, disucikan darinya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Syubhat Ketiga: Ada yang berpendapat bahwa pembagian tiga tauhid tersebut adalah hasil inovasi dan diperkenalkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan ada pula yang mengatakan (yang membuatnya adalah) Ibnu Taimiyyah, dan jawabannya ada tiga aspek:
Yang pertama: Sekalipun itu adalah hasil inovasi itu maka itu dalilnya adalah istiqro-i (bersifat induksi) maka tidak ada masalah, tidak ada perbedaan pendapat dalam istilah (terminology).
Yang kedua: ini adalah iftira’ (mengada-ada suatu perkara yang tidak ada dasarnya – syubhat diatas) yang batil, Maka telah disebutkan pembagian tauhid ini oleh banyak ulama terdahulu, baik dengan terang-terangan atau dengan isyarat kepadanya. Para ulama itu antara lain: Ibnu Baththoh al-‘Ukbariy, Ibnu Man, dahAbu Yusuf, Abu Hanifah, at-Thohawi, Ibnu Jarir at-Thobariy, al-Qurthuby, Ibnu Hibban, at-Thurthusy dan selain mereka.
Yang Ketiga: Sesungguhnya kebanyakan para ahli filsafat membagi tauhid menjadi tiga macam, maka mereka mengatakan dia adalah satu dalam dzatnya tidak terbagi-bagi, satu dalam sifat-Nya tidak ada yang serupa bagi-Nya, satu dalam seluruh perbuatan-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya, dan pembagian yang dilakukan mereka itu mengandung banyak perkara yang batil. hal ini bukan tempat untuk menjelaskannya, namun yang dimaksud adalah untuk memperjelas bahwa mereka sendiri yang telah membuat pembagian.
Syubhat keempat: Sebagian orang Harokiyun ( tambahan: Orang-orang harokah adalah suatu kaum yang (kelihatannya) berjuang untuk Islam. Mereka berpendapat bahwa memahami agama ini tidaklah cukup untuk memperjuangkan Islam, sampai setiap individu bergabung di dalam suatu gerakan dakwah, yang didalamnya mereka diperintah dan dilarang, (mereka harus) mendengar dan taat. Kegiatan ini kebanyakan disertai dengan bai’at dan sumpah setia, meskipun mereka berada di dalam suatu negara yang dipimpin oleh penguasa muslim.) menambahkan pembagian tauhid menjadi empat yaitu Tauhid Hakimiyah. Dan pembagian yang keempat ini tidak benar, alasannya ada dua perkara:
Pertama: Menurut konsep pembagiannya, memberikan konsekuensi bahwa setiap macam tauhid berbeda dengan macam lainnya. Sedangkan Tauhid Hakimiyah itu telah masuk dalam tauhid Rububiyah dan Uluhiyah. Maka jika yang diinginkan itu adalah Tasyri’ (pensyariatan), Tahliil (penghalalan), Tahriim (pengharaman) maka ini adalah tauhid Rububiyah, dan jika yang diinginkan itu adalah peribadahan kepada yang demikian maka sudah masuk pada tauhid Uluhiyah.
Maka jika dikatakan: Kami pilihkan ( tauhid Hakimiyah) untuk disebutkan karena banyaknya penentang dalam pembagian tauhid yang tiga, seperti halnya tauhid asma wa shifat yang disebutkan, karena banyak penentangnya, padahal bisa termasuk dalam tauhid Rububiyah, maka jawabnya adalah jelas dengan sisi jawaban yang kedua, yaitu dipilihnya Tauhid Hakimiyah sebagai macam dari tauhid itu bisa menyebabkan ghuluw berlebih-lebihan dalam tauhid. Dan ghuluw (sikap berlebih-lebihan) itu adalah sebab awal munculnya perpecahan, kelompok-kelompok ahli bid’ah pada umat Islam. Maka sebab munculnya Khawarij adalah ghuluw dalam masalah Hakimiyah. Dan jelas perbedaan penyimpangan dalam asma wa shifat dan penyimpangan dalam Hakimiyah. Adapun penyimpangan terhadap Tauhid asma was shifat adalah kering dan tidak terbukti, sehingga penyimpangan tersebut perlu dan wajib untuk disebutkan dan ditonjolkan. Sedangkan
Adapun mengenai tauhid hakimiyah, orang-orang yang menyimpang didalamnya adalah ghuluw (berlebih-lebihan) bahkan sampai pada level penetapan, Hal ini tidak perlu dipertegas lagi, mengingat kesalahan dalam hakimiyah (penghukuman penguasa) bukanlah merupakan kekafiran yang besar kecuali disertai dengan keyakinan kekafiran, karena hal yang demikian tidak dapat dianggap sebagai tambahan pembagian tauhid dari tauhid Uluhiyah, Rububiyah, asma wa shifat kecuali dari orang-orang yang ghuluw alias extrimis.
#DaurahMaSyaikh_Surabaya
#DaurahYayasanMinhajusSunnah2024_1445H
#BagianKetiga
Diterjemahkan seadanya dan sebisanya oleh Ustadz Zaki Rakhmawan Abu Usaid hafidzhahullahu ta’ala