FAWAID HADITS-HADITS AL-ARBA’IN AN-NAWAWIYAH

HADITS KE DUAPULUH (20)

 

 

عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَنْصَارِي البَدْرِي – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ”

رَوَاهُ البُخَارِي

Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya di antara perkataan kenabian terdahulu yang diketahui manusia ialah jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari)

 

A. Biografi singkat Rowi Abu Mas’ud ‘Uqbah bin Amrin Al Anshary rodhiyallahu ‘anhu

Namanya adalah Uqbah bin Amr bin Tsa’labah. Kun-yahnya Abu Mas’ud al-Badri. Dengan kun-yah inilah ia lebih dikenal. Gelaran al-Badri adalah gelar terhormat. Mengapa? Karena diperuntukkan untuk mereka yang turut serta dalam Perang Badr. Yang Allah Ta’ala berfirman tentang mereka:

اعْمَلُوا ما شِئْتُمْ فقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ

“Lakukanlah apapun yang kalian suka. Sungguh Aku telah mengampuni kalian.” (HR. al-Bukhari dalam Shahihnya No.4890).

Menurut Sebagian sejarawan, gelaran al-Badri pada Abu Mas’ud berbeda. Dia tak hadir di medan Badr. Tapi justru dia tinggal di Badr. Karena itu dia digelari al-Badri. Artinya seorang yang tinggal di Badr. Walaupun tak menyandang status sebagai peserta Perang Badr, Abu Mas’ud punya keutamaan yang tak kalah hebat. Ia turut hadir di Perjanjian Aqobah II. Ia orang termuda yang hadir di sana. Tak serta dalam Perang Badr, Abu Mas’ud tak ketinggalan di Perang Uhud dan perang-perang lainnya.

Pendapat lain mengatakan, dia turut serta dalam Perang Badr. Karena itu, digelari al-Badri. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan sebuah kisah bahwa Umar bin Abdul Aziz menyampaikan suatu hadits: al-Mughirah bin Syu’bah pernah mengakhirkan pengerjaan shalat asar. Saat itu ia menjabat sebagai Gubernur Kufah. Lalu Abu Mas’ud Uqbah bin Amr al-Anshari, kakek dari Zaid bin Hasan, dan Abu Mas’ud ini turut serta dalam Perang Badr, ia berkata, “Sungguh aku tahu Jibril turun lalu mengerjakan shalat. lalu Rasulullah mengerjakan shalat lima waktu. Beliau bersabda, ‘Seperti inilah aku diperintahkan’. [Shahih al-Bukhari, 3785].

Karena itu, Imam al-Bukhari memasukkan beliau sebagai peserta Perang Badr. Demikian juga Imam Muslim, beliau mengatakan, “Dia (Abu Mas’ud) turut serta Perang Badr. Dan al-Hakim mengatakan, “Dia (Abu Mas’ud) peserta Perang Badr.”

Abu Mas’ud tinggal di Kufah. Ia termasuk orang yang berpihak dengan Ali saat terjadi pertikaian. Dan Ali mengangkatnya sebagai penggantinya memerintah sementara Kufah, saat Ali berangkat menuju Shiffin.

Beliau meninggal di Madinah adapula yang berpendapat di Kufah. Dan beliau telah meriwayatkan hadits dari Nabi sebanyak 102 hadits. Sejarawan berbeda pendapat tentang tahun wafatnya Abu Mas’ud. Ada yang mengatakan tahun 40 H. Dan ada juga yang berpedapat setelah tahun 40 H. Karena Abu Mas’ud sempat menjumpai kepemimpin al-Mughirah bin Syu’bah di Kufah. Dan itu terjadi setelah tahun 40 H. Ada yang berpendapat ia wafat di Kufah. Ada pula yang menyatakan di Madinah.

 

B. Kedudukan hadits

Hadits ini hadits yang agung yang poros Islam berkisar diatasnya. Hadits ini juga termasuk pokok pondasi akhlak dengan ucapan yang jelas, ringkas dan hadits ini teranggap sebagai jawami’ul kalim-nya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

C. Fawaid hadits

  1. Sesungguhnya rasa malu itu termasuk bagian dari syariat-syariat terdahulu. Dan hendaknya seseorang memiliki kejelasan sikap, apabila sesuatu itu tidak membuatnya malu maka hendaknya dilakukan. Namun kemutlakan ini dikaitkan dengan apabila dalam melakukannya itu ada kerusakan. Jika ada kerusakan maka hendakanya tidak ia lakukan khawatir akan kerusakan itu.
  2. Rasa malu adalah pokok pondasi akhlak yang baik.
  3. Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan. Barangsiapa yang banyak rasa malunya maka akan banyak pula kebaikannya dan akan merata manfaatnya. Dan barangsiapa yang terputus dari rasa malu, maka sungguh dia akan menyesal dan merugi.
  4. Barangsiapa yang telah meninggalkan rasa malu, maka jangan diharapkan lagi kebaikan darinya.

 

 

Di terjemahkan oleh Ahmad Imron bin Muhadi Al Fanghony hafidzohullahu ta’ala.

Rujukan : Kitab Al-Fawaid Adz-dzahabiyah min Ar-ba’in An-Nawawiyah karya Syaikh Abu Abdillah Hammud bin Abdillah Al Mathor dan Syaikh Abu Anas Ali bin Husain Abu Lauz.

By Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *