Mendahulukan Akabir (para senior) dalam ilmu dan pengalaman ketika mengambil kebijakan syar’iy atau fatwa bukanlah kefanatikan, melainkan salah satu sifat tawadhu’ dan wara’ (apik/penuh hati-hati).
Mari kita lihat praktek para Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Abul Minhal berkata,
سَأَلْتُ الْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ وَزَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ ـ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ ـ عَنِ الصَّرْفِ، فَسَأَلْتُ الْبَرَاءَ، فَقَالَ : اِئْتِ زَيَدًا فَإِنَّهُ خَيْرٌ مِنِّي وَأَعْلَمُ، فَسَأَلْتُ زَيَدًا، فَقَالَ : اِئْتِ الْبَرَاءَ فَإِنَّهُ خَيْرٌ مِنِّي وَأَعْلَمُ، فَكِلَاهُمَا قَالَا: “نَهَى رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللًٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالْوَرِقِ دَيْنًا
Aku bertanya pada Al Barra bin ‘Aazib dan Zaid bin Arqam tentang pertukaran emas dan uang. Aku pun bertanya pada Al Barra, maka beliau mengatakan: “Datangilah Zaid, karena ia lebih baik dariku dan lebih berilmu”. Maka Aku pun bertanya pada Zaid, maka ia pun juga berkata: “Datangilah Al Barra, karena ia lebih baik dariku dan lebih berilmu”. Maka pada akhirnya keduanya sama-sama mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjual uang dengan emas secara utang (ditangguhkan).” (Al Bukhaari dan Muslim)
Ibnu Daqieqil ‘Ied mengatakan,
فِي الحَدِيْثِ دَلِيْلٌ عَلَى التَّوَاضُعِ وَالإِعْتِرِافِ بِحُقُوْقِ الأَكَابِرِ…إلخ
“Di dalam hadits ini ada dalil atas Tawadhu’ dan pengakuan terhadap hak-hak senior (dalam ilmu dan pengalaman)…” (Ihkamul Ahkam, 4/115)
Ibnul Mulaqqin mengatakan,
السُّؤَالُ عَنِ العِلْمِ مِنْ أَهْلِهِ وَالتَّوَرُّعُ عَنِ الفَتَيَا
“Ini menyangkut faedah bertanya tentang ilmu dari ahlinya sekaligus wara’ (apik) dari fatwa…” (Fathul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam, 536)
Para Salaf itu jika ada persoalan tertentu mesti mencari Ahlinya untuk ditanya atau ditunggu sikap dan fatwanya. Pada saat yang sama mereka (para Sahabat) menjaga sifat tawadhu’ dan wara’ dalam fatwa. Bahkan diriwayatkan, terkadang satu persoalan ditanyakan pada 120 orang Sahabat, maka mereka “saling lempar” satu sama lain antar mereka, agar yang lain lebih dulu menjawabnya. MaaSyaaAllah…
Jadi, sikap sebagian kami yang tetap diam pada beberapa persoalan yang baru datang itu bukan tak bisa atau tak berani menjawab, namun kami sedang belajar menunggu para Akabir dalam bersikap terhadapnya. Semoga menjadi terbiasa dan menjadi karakter yang kami dambakan ada pada diri kami. Dan semoga meminimalisir terbuka pintu-pintu fitnah yang jauh lebih besar… Wallahu Waliyyut Taufīq.
(Ditulis oleh Ustadz Abu Hazim Mochamad Teguh Azhar, MA. hafidzahullahu ta’ala)